KESULTANAN BANTEN


KESULTANAN BANTEN


Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak.

Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.

Daftar Kepemimpin Kesultanan Banten
Sunan Gunung Jati
Sultan Maulana Hasanudin (1552 - 1570)
Maulana Yusuf (1570 - 1580)
Maulana Muhammad (1585 - 1590)
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1605 - 1640)
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (1640 - 1650)
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1680)
Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) (1683 - 1687)
Sultan Yahya (1687 - 1690)
Sultan Zainul Abidin (1690 - 1733)
Sultan Arifin (1733–1748)
Halimin
Abul Nazar Mohammad Arif Zainul Asikin (1753–1777)

Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air.

Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husayn.

Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi. Makam Nyai Rara Santang bisa ditemui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu. Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji buat seluruh umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setalah Uwaknya wafat.

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di Pulau Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521. Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal Penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagai Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji. Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.

Riwayat Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.

SILSILAH SULTAN BANTEN :

SYARIF HIDAYATULLAH - SUNAN GUNUNG JATI, Berputera :
Ratu Ayu Pembayun.
Maulana Hasanuddin
Pangeran Pasarean
Pangeran Bratakelana
Pangeran Jaya Lelana
Ratu Wianon
Pangeran Turusmi

PANGERAN HASANUDDIN - PANEMBAHAN SUROSOWAN (1552-1570) Berputera :
Ratu Pembayu
Ratu Keben
Pangeran Yusuf
Ratu Terpenter
Pangeran Arya Japara
Ratu Biru
Pangeran Suniararas
Ratu Ayu Arsanengah
Pangeran Pajajara
Pangeran Pajajaran Wado
Pangeran Pringgalaya
Tumenggung Wilatikta
Pangeran Sabrang LorPangeran
Ratu Ayu Kamudarage
Pangeran Sabrang Wetan

MAULANA YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE (1570-1580) Berputra :
Pangeran Arya Upapati
Ratu Rangga
Pangeran Arya Adikara
Ratu Ayu Wiyos
Pangeran Arya Mandalika
Ratu Manis
Pangeran Arya Ranamanggala
Pangeran Manduraraja
Pangeran Arya Seminingrat
Pangeran widara
Ratu Demang
Ratu Belimbing
Ratu Pecatanda
Maulana Muhammad

MAULANA MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN (1580-1596) Berputra :
Pangeran Abdul Kadir

SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD 'ABDUL KADIR KENARI (1596-1651) Berputra :
Sultan 'Abdul Maali Ahmad Kenari
Pangeran Arya Wirasuta
Ratu Dewi
Ratu Gading20.
Ratu Ayu
Ratu Pandan
Pangeran Arya Banten
Pangeran Wirasmara
Ratu Mirah
Ratu Sandi
Pangeran Sudamanggala
Pangeran Arya Jayaningrat
Pangeran Ranamanggala
Ratu Citra
Ratu Belimbing
Pangeran Arya Adiwangsa
Ratu Gedong
Pangeran Arya Sutakusuma
Pangeran Arya Maduraja
Pangeran Arya Jayasantika
Pangeran Kidul
Ratu Hafsah
Ratu Dalem
Ratu Pojok
Ratu Lor
Ratu Pacar
Pangeran Seminingrat
Ratu Bangsal
Ratu Kidul
Ratu Salamah
Pangeran Arya Wiratmaka
Ratu Ratmala
Pangeran Arya Danuwangsa
Ratu Hasanah
Pangeran Arya Prabangsa
Ratu Husaerah
Ratu Kelumpuk
Ratu Jiput
Ratu Wuragil

PUTRA MAHKOTA SULTAN 'ABDUL MA'ALI AHMAD, Berputera:
Abul Fath Abdul Fattah
Pangeran Arya Kidul
Ratu Panenggak
Ratu Tinumpuk
Ratu Nengah
Ratu Inten
Pangeran Arya Elor
Pangeran Arya Dipanegara
Ratu Wijil
Pangeran Arya Ardikusuma
Ratu Puspita
Pangeran Arya Kulon
Pangeran Arya Ewaraja
Pangeran Arya Wetan
Ratu Ayu Ingalengkadipura

SULTAN AGENG TIRTAYASA -'ABUL FATH 'ABDUL FATTAH (1651-1672) Berputra :
Sultan Haji
Tubagus Muhammad 'Athif
Pangeran Arya 'abdul 'Alim
Tubagus Abdul
Pangeran Arya Ingayudadipura
Ratu Raja Mirah
Pangeran Arya Purbaya
Ratu Ayu
Pangeran Sugiri
Ratu Kidul
Tubagus Rajasuta
Ratu Marta
Tubagus Rajaputra
Ratu Adi
Tubagus Husaen
Ratu Ummu
Raden Mandaraka
Ratu Hadijah
Raden Saleh
Ratu Habibah
Raden Rum
Ratu Fatimah
Raden Mesir
Ratu Asyiqoh
Raden Muhammad
Ratu Nasibah
Raden Muhsin
Tubagus Kulon
Tubagus Wetan

SULTAN ABU NASR ABDUL KAHHAR - SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :
Sultan Abdul Fadhl
Ratu Muhammad Alim
Sultan Abul Mahasin
Ratu Rohimah
Pangeran Muhammad Thahir
Ratu Hamimah
Pangeran Fadhludin
Pangeran Ksatrian
Pangeran Ja'farrudin
Ratu Mumbay (Ratu Bombay)

SULTAN ABUDUL FADHL (1687-1690) tidak berputra.

SULTAN ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN (1690-1733 ) Berputra :
Sultan Muhammad Syifa
Raden Putera
Sultan Muhammad Wasi'
Ratu Halimah
Pangeran Yusuf
Tubagus Sahib
Pangeran Muhammad Shaleh
Ratu Sa'idah
Ratu Samiyah
Ratu Satijah
Ratu Komariyah
Ratu 'Adawiyah
Pangeran Tumenggung
Tubagus Syarifuddin
Pangeran Ardikusuma
Ratu 'Afiyah Ratnaningrat
Pangeran Anom Mohammad Nuh
Tubagus Jamil
Ratu Fatimah Putra
Tubagus Sa'jan
Ratu Badriyah
Tubagus Haji
Pangeran Manduranagara
Ratu Thoyibah
Pangeran Jaya Sentika
Ratu Khairiyah Kumudaningrat
Ratu Jabariyah
Pangeran Rajaningrat
Pangeran Abu Hassan
Tubagus Jahidi
Pangeran Dipati Banten
Tubagus Abdul Aziz
Pangeran Ariya
Pangeran Rajasantika
Raden Nasut
Tubagus Kalamudin
Raden Maksaruddin
Ratu Siti Sa'ban Kusumaningrat
Pangeran Dipakusuma
Tubagus Abunasir
Ratu Afifah
Raden Darmakusuma
Ratu Siti Adirah
Raden Hamid
Ratu Safiqoh
Ratu Sifah
Tubagus Wirakusuma
Ratu Minah
Tubagus Abdurrahman
Ratu 'Azizah
Tubagus Mahaim
Ratu Sehah
Raden Rauf
Ratu Suba/Ruba
Tubagus Abdul Jalal
Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)
Ratu Hayati
Ratu Muhibbah

SULTAN MUHAMMAD SYIFA' ZAINUL ARIFIN (1733 - 1750) Berputra :
Sultan Muhammad 'Arif
Ratu Sa'diyah
Ratu Ayu
Ratu Halimah
Tubagus Hasannudin
Tubagus Abu Khaer
Raden Raja Pangeran Rajasantika
Ratu Hayati
Pangeran Muhammad Rajasantika
Tubagus Muhammad Shaleh
Ratu 'Afiyah

SULTAN SYARIFUDDIN RATU WAKIL (1750 - 1752 ), tidak berputera.

SULTAN MUHAMMAD WASI' ZAINUL 'ALIMIN (1752-1753), tidak berputer :

SULTAN MUHAMMAD 'ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753-1773) Berputra :
Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin
Pangeran Suralaya
Sultan Muhyiddin Zainusholiohin
Pangeran Suramanggala
Pangeran Manggala

SULTAN ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN (1773-1799), Berputra :
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin
Pangeran Musa
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
Pangeran Yali
Pangeran Darma
Pangeran Ahmad
Pangeran Muhammad Abbas

SULTAN MUHYIDDIN ZAINU SHOLIHIN (1799-1801) Berputra :
Sultan Muhammad Shafiuddin
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

Disadur dari buku : Catatan Masa Lalu Banten - Halwany 'n Mudjahid Chudari

Komentar

Postingan Populer