Evaluasi kurikulum
2
soal
Pengertian evaluasi kurikulum itu berbeda-beda sesuai dengan pengertian kurikulum yang berbeda-beda pula. Berikut adalah pengertian evaluasi terlebih dahulu menurut para ahli:
1.Stephen Wiseman dan Dauglas Pidgeson dalam bukunya yang berjudul Curriculum Evaluation, evaluasi yaitu perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggung jawabkan.
2.Dalam buku The School Curriculum, evaluasi dinyatakan sebagai suatu proses pengumpulan data secara sistematis, yang bertujuan untuk membantu pendidik untuk memahami dan menilai suatu kurikulum, serta memperbaiki metode pendidikan. Evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui dan memutuskan apakah program yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan semula.
3.Dalam buku Curriculum Planning and Development, evaluasi adalah proses untuk menilai kinerja pelaksanaan suatu kurikulum. yang di dalamnya ada tiga makna yaitu:
a. Evaluasi tidak akan terjadi kecuali telah mengetahui tujuan yang akan dicapai.
c. Evaluasi harus mengambil kesimpulan berdasarkan kriteria tertentu.
4.Chelimsky (1989) mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program.
5.Joint Commite (1981) menurutnya evaluasi ialah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa objek.
6. Purwanto dan Atwi Suparman (1999) evaluasi yaitu proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan pada suatu program.
Berikut adalah pengertian Evaluasi Kurikulum menurut para ahli:
1. Tyler (1949) evaluasi kurikulum adalah upaya untuk menentukan tingkat perubahan yang terjadi pada hasil belajar (behavior).
2. Orint (1993) evaluasi kurikulum yaitu memberikan pertimbangan berdasarkan kriteria yang disepakati dan data yang diperoleh di lapangan.
3.Cronbach (1980) evaluasi kurikulum yaitu proses pemeriksaan sitematis terhadap peristiwa yang terjadi pada waktu suatu kurikulum dilaksanakan dan akibat dari pelaksanaan kurikulum tersebut.
4.Meyer (1989) evaluasi kurikulum sebagai suatu usaha untuk memahami apa yang terjadi dalam pelaksanaan dan dampak dari kurikulum.
5. Longstreet and Shane (1993) evaluasi kurikulum adalah pemberian pertimbangan untuk mencapai kesuksesan.
6. Mawid Marsan (2004) evaluasi kurikulum yaitu sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu.
7. Pengertian evaluasi kurikulum menurut http://elearning.unesa.ac.id yaitu penelitian yang sistematik tentang manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau yang telah dijalankan.
2.2. Tujuan Evaluasi Kurikulum
Aliran
yang mempengaruhi kurikulum
Evaluasi
suatu yang penting, model2 evaluasi kurikulum di indonesia
Evaluasi sendiri menurut Nana Syaodih sebagai kegiatan yang luas,
kompleks dan terus menerus untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem
pendidikan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.[1]
Sedangkan didefinisikan dari segi istilah menurut Edwind Wandt dan Gerald W.
Brown (1977) adalah sebagai berikut: “Evaluation refer to the act or
process to determining the value of something”.[2]
Namun yang harus diperhatikan benar-benar disini adalah kata “nilai” itu
sendiri, yang mana tentu saja bagus atau tidaknya nilai dari sesuatu yang
dievaluasi itu sangat ditentukan oleh penyusunan evaluasi oleh para evaluator,
sehingga ketika terjadi hasil yang kurang memuaskan di dalam suatu evaluasi,
yang sebenarnya perlu dibenahi adalah proses evaluasinya yang berujung pada
bagaimana para evaluator menyusun evaluasinya sebaik mungkin, ditambah
pembenahan metode yang dilakukan untuk melangsungkan pembelajaran yang efektif,
bukan malah siswa yang bertindak sebagai objek yang disalahkan atas hasil
evaluasi yang kurang memuaskan.
Evaluasi merupakan kata yang seringkali
diindentikkan dengan nilai mata pelajaran, karena kurangnya pemahaman yang
benar terhadap makna dari evaluasi sendiri. Terlebih lagi karena kesan yang
dirasakan memang bukanlah kesan yang seharusnya dialami, melainkan mereka
menerimanya sebagai suatu acuan keberhasilan diri yang mau tidak mau mereka
harus berhasil dikarenakan hal tersebut akan memberikan status dan pandangan
tertentu dari lingkungan sosial ataupun keluarganya yang baik atau tidaknya ditentukan
dari bagus atau jeleknya pencapaian nilai siswa yang bersangkutan.
Dalam konteks kurikulum,
evaluasi pengembangan kurikulum memiliki arti yang sangat luas dari sekedar
evaluasi yang dilakukan dalam skala kelas yang mana tanggung jawab akan
keberhasilan kurikulum ini pun menjadi tidak hanya tanggung jawab para
pengambil kebijakan kurikulum ataupun guru, melainkan siswa itu sendiri
memiliki tanggung jawab. Dalam artian bahwa guru harus membimbing para siswa
agar mereka memiliki kesadaran akan pentingnya evaluasi bagi proses
pembelajaran yang baik, sehingga evaluasi tidak akan dipandang sebagai suatu
beban yang bisa mengganggu keadaan psikologis mereka yang masih rentan karena
terjadinya proses evaluasi diri yang dibimbing oleh guru.
Evaluasi pengembangan
kurikulum merupakan akar dari pembenahan yang positif dalam rangka memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam suatu kurikulum. Berdasarkan hal
tersebut, evaluasi pengembangan kurikulum menjadi suatu hal yang penting karena
merupakan alat untuk meninjau sejauh mana keberhasilan suatu kurikulum yang
diterapkan. Karena perlu diakui bahwa penyusunan kurikulum itu sangat krusial,
dimana ia dapat menentukan baik atau tidaknya pendidikan di suatu negara. Dari
pembahasan akan pentingnya evaluasi dalam rangka mengembangkan kurikulum, maka
terlahirlah model-model evaluasi kurikulum yang mana penulis sendiri
berpendapat bahwa yang paling fundamental adalah model evaluasi kurikulum CIPP
(content, Input, Process and Product) karena menurut penulis sendiri
model evaluasi ini penulis pandang cakupannya lebih luas, namun tetap sederhana
dan jelas aspek-aspek yang dievaluasinya, sehingga hasil evaluasi secara
keseluruhannya pun dapat memberikan gambaran yang lebih gamblang tentang suatu
kurikulum yang sedang dievaluasi, namun tentunya penulis tidak menampik bahwa
model tersebut akan lebih baik lagi jika diintegrasikan dengan model-model
evaluasi kurikulum yang lainnya sehingga melahirkan suatu model yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan pendidikan Indonesia.
Dari pendapat tersebut,
evaluasi dalam konteks pengembangan kurikulum jelas merupakan hal yang perlu
mendapat perhatian yang lebih dikarenakan evaluasi sendiri berhubungan dengan
nilai dari suatu kurikulum, memberikan deskripsi analisis mengenai kekurangan
dan keberhasilan dari suatu kurikulum yang merupakan jalan untuk melakukan
perbaikan untuk menyempurnakan kurikulum yang ada. Penanganan yang serius dari
para evaluator dan koordinasinya dengan para praktisi pendidikan sampai ke
peserta didik pun mutlak dibutuhkan karena evaluasi kurikulum sendiri merupakan
hal yang sangat luas cakupannya sehingga banyak pihak yang terlibat yang harus
memaknai akan pentingnya evaluasi kurikulum, sehingga evaluasi yang dilakukan
bisa meningkatkan aspek validitas (kesahihan), reliabilitas (keterandalan),
signifikansi (keterpercayaan), dan objektifitas yang berujung pada proses
penyempurnaan kurikulum yang baik dan tujuan pendidikan sendiri bisa tercapai.
Kurikulum merupakan hasil pemikiran manusia. Maka sudah sewajarnya
bila dalam pelaksanaanya belum tentu membuahkan hasil sebagaimana yang
diharapkan. Untuk itulah evaluasi akan kurikulum itu menjadi penting dan harus
dilakukan. Selain bertujuan memperbaiki kekurangannya, evaluasi ini kedepannya
diharapkan mampu membawa kearah pengembangan kurikulum yang lebih baik lagi.
Namun demikian, evaluasi kurikulum bukanlah suatu kegiatan yang
mudah. Seorang evaluator hendaknya memiliki pemahaman akan teori-teori
kurikulum dan metode atau model-model evaluasi kurikulum. Apalagi kurikulum
satuan pendidikan, yang pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
masing-masing sekolah. Tentunya hal ini membutuhkan ketelitian dan penguasaan
model evaluasi kurikulum yang matang dari evaluator. Dan atas dasar
pertimbangan-pertimbangan inilah maka penting kiranya untuk dibahas model-model
evaluasi kurikulum yang berkembang saat ini.
Kurikulum yang memiliki nilai
penting sebagaimana diungkap dalam bab pendahuluan menjadikan keberadaan
evaluasi kurikulum menjadi hal yang fardhu adanya. Adapun
pengertian evaluasi adalah pengambilan keputusan berdasarkan hasil pengukuran
dan standar kriteria.[1] Evaluasi juga diartikan sebagai
kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu.[2] Sedangkan menurut Marrison evaluasi
adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat criteria yang disepakati
dan dapat dipertanggungjawabkan.[3].
Evaluasi kurikulum dalam tingkatan
informal berbentuk perkiraan, dugaan atau pendapat tentang perubahan-peruabahan
yang telah dicapai oleh program sekolah. Evaluasi kurikulum merupakan suatu
tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan
dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum
juga merupakan fenomena memiliki banyak segi.[4] Inilah beberapa definisi evaluasi
kurikulum yang perlu untuk kita ketahui.
Model-Model
Evaluasi Kurikulum
Evaluasi
kurikulum dimaksudkan untuk memperbaiki subsantsi kurikulum, prosedur
implementasi kurikulum, metode intruksional, serta pengaruhnya pada belajar dan
perilaku siswa. Macam-macam model evaluasi yang dipergunakan bertumpu pada
aspek-aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model
evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkah laku individu,
evaluasi yang menekakan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan
pada bahan ajar atau isi kurikulum. Adapun model (pendekatan) antropologis
dalam evaluasi ditujukan untuk mengevaluasi tingkah laku dalam suatu lembaga
social. Dengan demikian sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara
evaluasi dengan kurikulum.
Evaluasi kurikulum memang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum itu sendiri semakin berkembang seiring berjalannya waktu dan praktik pendidikan yang
harus disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju
pula. Karena kurikulum itu sendiri bersifat dinamis maka dalam praktik dan perkembangannya membutuhkan evaluasi.
Pengertian evaluasi kurikulum itu berbeda-beda sesuai dengan pengertian kurikulum yang berbeda-beda pula. Berikut adalah pengertian evaluasi terlebih dahulu menurut para ahli:
1.Stephen Wiseman dan Dauglas Pidgeson dalam bukunya yang berjudul Curriculum Evaluation, evaluasi yaitu perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggung jawabkan.
2.Dalam buku The School Curriculum, evaluasi dinyatakan sebagai suatu proses pengumpulan data secara sistematis, yang bertujuan untuk membantu pendidik untuk memahami dan menilai suatu kurikulum, serta memperbaiki metode pendidikan. Evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui dan memutuskan apakah program yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan semula.
3.Dalam buku Curriculum Planning and Development, evaluasi adalah proses untuk menilai kinerja pelaksanaan suatu kurikulum. yang di dalamnya ada tiga makna yaitu:
a. Evaluasi tidak akan terjadi kecuali telah mengetahui tujuan yang akan dicapai.
b.
Untuk mencapai tujuan tersebut harus diperiksa hal-hal yang telah dan sedang
dilakukan.
c. Evaluasi harus mengambil kesimpulan berdasarkan kriteria tertentu.
4.Chelimsky (1989) mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program.
5.Joint Commite (1981) menurutnya evaluasi ialah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa objek.
6. Purwanto dan Atwi Suparman (1999) evaluasi yaitu proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan pada suatu program.
Berikut adalah pengertian Evaluasi Kurikulum menurut para ahli:
1. Tyler (1949) evaluasi kurikulum adalah upaya untuk menentukan tingkat perubahan yang terjadi pada hasil belajar (behavior).
2. Orint (1993) evaluasi kurikulum yaitu memberikan pertimbangan berdasarkan kriteria yang disepakati dan data yang diperoleh di lapangan.
3.Cronbach (1980) evaluasi kurikulum yaitu proses pemeriksaan sitematis terhadap peristiwa yang terjadi pada waktu suatu kurikulum dilaksanakan dan akibat dari pelaksanaan kurikulum tersebut.
4.Meyer (1989) evaluasi kurikulum sebagai suatu usaha untuk memahami apa yang terjadi dalam pelaksanaan dan dampak dari kurikulum.
5. Longstreet and Shane (1993) evaluasi kurikulum adalah pemberian pertimbangan untuk mencapai kesuksesan.
6. Mawid Marsan (2004) evaluasi kurikulum yaitu sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu.
7. Pengertian evaluasi kurikulum menurut http://elearning.unesa.ac.id yaitu penelitian yang sistematik tentang manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau yang telah dijalankan.
2.2. Tujuan Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang
ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan, indikator kinerja yang akan
dievaluasi yaitu efektivitas program. Dalam arti
luas evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari beberapa aspek yaitu efektivitas, relevansi, efisiensi, dan kelayakan (feasibility) program. Evaluasi dalam pengembangan
kurikulum dimaksudkan untuk keperluan:
a. Perbaikan program Evaluasi bersifat konstruktif karena informasi hasil evaluasi dijadikan input bagi perbaikan pengembangan program kurikulum. Jadi evaluasi dipandang sebagai tolak ukur hasil
pengembangan sistem.
b. Pertanggung jawaban kepada
berbagai pihak
Pada fase pengembangan kurikulum diperlukan pertanggung jawaban sosial, ekonomi, dan moral berupa kekuatan dan kelemahan kurikulum serta upaya untuk mengatasinya dari berbagai pihak yang mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum dan yang menjadi konsumen dari kurikulum yang telah dikembangkan.
Pada fase pengembangan kurikulum diperlukan pertanggung jawaban sosial, ekonomi, dan moral berupa kekuatan dan kelemahan kurikulum serta upaya untuk mengatasinya dari berbagai pihak yang mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum dan yang menjadi konsumen dari kurikulum yang telah dikembangkan.
c. Penentuan tindak lanjut hasil
pengembangan
Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat berbentuk jawaban. Untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalammenjawab pertanyaan diperlukan adanya kegiatan evaluasi.
Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat berbentuk jawaban. Untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalammenjawab pertanyaan diperlukan adanya kegiatan evaluasi.
Model - model
evaluasi kurikulum terdiri atas tujuh yaitu :
a. Evaluasi Model Penelitian
a. Evaluasi Model Penelitian
Menurut Sukmadinata (2008) model evaluasi kurikulum yang menggunakan model
penelitian didasarkan atas metode tes psikologis dan eksperimen lapangan. Tes psikologis
atau tes psikometrik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang
ditunjukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur
perilaku skolastik. Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai pada
tahun 1930 dengan menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian
botani pertanian. Para ahli botani pertanian mengadakan percobaan untuk ditanam
pada petak-petak tanah yang memiliki kesuburan dan lain-lain yang sama. Dari
percobaan tersebut dapat diketahui benih mana yang paling produktif. Percobaan
serupa dapat juga digunakan untuk mengetahui pengaruh tanah, pupuk dan
sebagainya terhadap produktivitas suatu macam benih.
Menurut Sukmadinata (2008) model eksperimen dalam botani pertanian dapat
digunakan dalam pendidikan, anak dapat disamakan dengan benih, sedang kurikulum
serta berbagai fasilitas serta sistem sekolah dapat disamakan dengan tanah dan
pemeliharaannya. Untuk mengetahui tingkat kesuburan benih (anak) serta hasil
yang dicapai pada akhir program percobaan dapat digunakan tes (pretest dan post
test).
Comparative
approach dalam evaluasi. Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang menggunakan
eksperimen lapangan adalah mengadakan pembandingan antara dua macam
kelompok anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda.
Kelompok pertama belajar membaca dengan menggunakan metode global dan kelompok
lain menggunakan metode unsur. Rancangan penelitian lapangan ini membutuhkan
persiapan yang sangat teliti dan rinci, seperti sampel, variabel yang
terkontrol, hipotesis, treatment, tes hasil belajar dan sebagainya, perlu
dirumuskan secara tepat dan rinci.
Menurut Sukmadinata (2008) kesulitan yang dihadapi dalam model evaluasi eksperimen penelitian adalah :
Menurut Sukmadinata (2008) kesulitan yang dihadapi dalam model evaluasi eksperimen penelitian adalah :
1.
Kesulitan administratif : sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah
eksperimen.
2. Maslah teknis dan logis : kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk kelompok–kelompok yang diuji.
3. Sukar untuk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok control, pengaruh guru-guru tersebut sukar dikontrol.
4. Ada keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan.
2. Evaluasi Model Objektif
Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serikat. Perbedaan model objektif dengan model komparatif ada dalam dua hal :
a. Dalam model objektif evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum. b. Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus).
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif, yaitu:
1. Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum.
2. Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa.
3. Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut.
4. Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan.
Pendekatan ini yang digunakan oleh Ralph Tylor (1930) dalam menyusun tes dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula pendekatan sistem (system approach)Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom dengan kawan-kawannya menyusun klasifikasi sistem tujuan yang meliputi daerah-daerah belajar (cognitif domain).
Mereka membagi proses mental yang berhubungan dengan belajar tersebut dalam enam kategori, yaitu :
1. Knowledge (pengetahuan) adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi,dan prinsip dasar.
2. Comprehension (pemahaman) memahami hubungan yang sederhana di antara fakta-fakta atau konsep. Pembahasan pemahaman ini adalah penerjemahan, penafsiran, dan eksprorasi.
3. Aplication (penggunaan) memiliki kemampuan untuk menyeleksi atau memilih suatu abstrasi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan, cara) secara tepat untuk diterapkan dalam suatu situasi baru dan menerapkannya secara benar.
4. Analysis (analisis) mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit.
5. Synthesis menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan.
6. Evaluation kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan kurikulum dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan sistem intruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually Prescribed Instruct‑on). Suatu program yang dikembangkan oleh Learning Research And Develovment Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak mengikuti kurikulum yang memiliki 7 unsur :
1. Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah, tingkat-tingkat dan unit-unit.
2. Suatu prosedur program testing.
3. Pedoman prosedur penulisan.
4. Materi dan alat pengajaran.
5. Kegiatan guru dalam kelas.
6. Kegiatan murid dalam kelas.
7. Prosedur pengelolaan kelas.
3. Evaluasi Model Campuran Multivariasi
Evaluasi model perbandingan dan model Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Seperti halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari Tylor dan Bloom, metode tersebut masuk kebidang kurikulum dari proyek evaluasi. Metode-metode tersebut masuk ke bidang kurikulum setelah computer dan program paket berkembang yaitu tahun 1960.
Langkah-langkah model multivariasi adalah sebagai berikut:
1. Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/diteliti.
2. Melaksanakan program.
3. Sementara tim penyusun, menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajara
4. Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan computer.
5. Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh dari beberapa variabel yang berbeda.
Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam model campuran multivariasi, yaitu:
1. Diharapkan memberikan tes statistik yang signifikan.
2. Terlalu banyaknya variabel yang perlu dihitung.
3. Model multivariasi telah mengurangi masalah control berkenaan dengan eksperimen lap angan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah pembandingan.
4. Model EPIC ( Evaluation Program for Innovative Curriculums)
Model EPIC menggambarkan keseluruhan program evaluasi dalam sebuah kubus. Kubus tersebut mempunyai tiga bidang, yaitu:
a. Behavior (perlakuan) yang menjadi sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective dan psychomotor.
b. Instruction (pengajaran) yang meliputi organization, content, method, facilitiesand cost.
c. Kelembagaan yang meliputi student, teacher, administrator, educational specialist, family and community
5. Model CIPP (Context, Input, Process, dan Product)
Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu :
1. Context : yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan.
2. Input : bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan.
3. Process : pelaksanaan nyata dari program pendidikan.
4. Product : keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan.
6. Model C – I – P – O – I
Model pendekatan ini diadopsi dari CIPP-nya Daniel L. Stufflebeam (1971) yang menyatakan bahwa evaluasi dapat membantu proses pengambilan keputusan dalam pengembangan program. Model pendekatan ini terdiri dari :
a. Context Evaluation (C) evaluasi untuk menganalisa problem dan kebutuhan dalam suatu sistem. Kegiatan evaluasi dimaksudkan untuk dilakukan dengan tidak melepaskan diri dari konteks yang membentuk sistem itu sendiri dalam upaya pencapaian tujuan program.
b. Inputs Evaluation (I) mengevaluasi strategi dan sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan program. Hasil input evaluation dapat membantu pengambil keputusan untuk memilih strategi dan sumber terbaik dalam keterbatasan tertentu untuk mencapai tujuan program.
c. Process Evaluation (P) evaluasi dilakukan dengan maksud memonitor proses pelaksanaan program.
d. Outputs Evaluation (O) evaluasi dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh hasil yang diperoleh oleh program yang telah dikembangkan. Tentu saja, hasilnya dapat digunakan untuk mengambil keputusan apakah program diteruskan, diberhentikan atau secara total diubah.
e. Impacts Evaluation (I) evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana program yang telah dikembangkan memberikan dampak yang positif dalam jangka waktu yang lebih panjang.
7. Model 3 P (Program – Proses – Produk)
Model pendekatan ini merupakan model yang diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Raka Joni (1981), esensi dari pendekatan evaluasi model ini, adalah sebagai berikut :
a. Evaluasi Program : yakni merupakan evaluasi yang lebih memfokuskan diri pada evaluasi perencanaan program, dengan demikian evaluasi dilakukan sebelum program dilaksanakan untuk menetapkan rasional kelompok sasaran (targetted groups) serta mengidentifikasi kebutuhan (needs assessment) dan potensi yang ada padanya di samping mengkaji dibelakang meja kesesuaian, perangkat kegiatan program dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan untuk dicapai. Dengan demikian maka evaluasi perencanaan program merupakan bagian integral dari pada pengembangan program.
b. Evaluasi Proses yaitu evaluasi yang cenderung mengarah pada bentuk monitoring yang dilakukan pada saat kegiatan-kegiatan program berlangsung. Model evaluasi ini sangat penting untuk pengembangan program sebab tidak dengan sendirinya pelaksanaan kegiatan-kegiatan program sesuai dengan tujuan serta niat yang semula ditetapkan. Dalam bahasa analisis sistem, evaluasi ini dinamakan evaluasi proses.
c. Evaluasi Produk merupakan evaluasi terhadap aspek hasil yang ditujukan kepada pencapai an tujuan program baik jangka pendek (hasil antara), maupun jangka panjang (hasil akhir). Maka, yang hendak dinilai adanya kesesuaian antara tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan hasil-hasil yang diperoleh. Di samping itu hasil-hasil sampingan baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki, dapat dideteksi melalui evaluasi ini.
Menurut Astuti (2012) model‑model evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di Amerika, Inggris dan Australia dibedakan menjadi:
a. Model kuantitatif, meliputi model black box tyler, model teoritik taylor dan maguire, model pendekatan sistem alkin, model countenance stake.
b. Model ekonomi.
c. Model kualitatif, meliputi model studi kasus dan model iluminatif.
1. Model Evaluasi Kuantitatif
Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan kriteria evaluasi. Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki focus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan kriteria pokok bagi model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut.
A. Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.
Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.
2. Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum.
3. Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya.
v Kelemahan dari model Tyler
Kelemahan dari model Tyler adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum.
v Kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.
B. Model Teoritik Taylor dan Maguire
Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan pada pertimbangan teoritik. Model ini melibatkan variabel dan langkah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal, yaitu:
1. Mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode, konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator.
2. Pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar.
Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai berikut:
a. Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan. Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.
b. Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains atau losses dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.
c. Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan tugas utama sekolah. kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
d. Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas evaluator disini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.
v Kelebihan dari model ini adalah memberikan kesempatan pada evaluator untuk menerapkan kajian secara komprenhensip. Baik nilai maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan model ini. Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa model ini hanya diterapkan di tingkat satuan pendidikan. Sehingga keseluruhan proses pengembangan kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan model ini.
C. Model Pendekatan Sistem Alkin
Model Alkin ini sedikit unik karena selalu memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Adapun pendekatan yang digunakan disebut Alkin dengan pendekatan Sistem. Dua hal yang harus diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control variabel. Alkin membagi model ini atas tiga komponen. Yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara (mediating), dan keluaran (hasil). Alkin juga mengenal sisitem internal yang merupakan interaksi antar komponen yang langsung berhubungan dengan pendidikan dan system eksternal yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan. Model Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan. Adapun keempat asumsi itu yaitu:
1. Variabel perantara adalah satu-satunya variabl yang dapat dimanipulasi.
2. Sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran sistem (persekolahan).
3. Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki control mengenai pengaruh yang diberikan system luar terhadap sekolah.
4. Faktor masukan mempengaruhi aktifitas faktor perantara dan pada gilirannya faktor perantara berpegaruh terhadap faktor keluaran.
v Kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan sistem. Dengan model pendekatan sistem ini kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variabl-variabl yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya.
v Kelemahan dari model Alkin adalah keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah.
D. Model Countenance Stake
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks pertimbangan.
1. Matrik Deskripsi
Matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
2. Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan fokus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif.
2. Model Ekonomi Mikro
Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini focus pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan). Model dilingkungan ekonomi mikro ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum adalah model cost effectiveness. Dalam model cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur hasil di gunakan instrument yang sudah di standarisasi. Pengunaan instrument standar penting karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil dapat dilakukan secara berimbang.
3. Model Evaluasi Kualitatif
Model evaluasi kualitatif selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai fokus utama evaluasi. Oleh karena itulah dimensi kegiatan dan proses lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi lain. Terdapat tiga model evaluasi kualitatif, yaitu sebagai berikut:
a. Model Studi Kasus
Model studi kasus (case study) adalah model utama dalam evaluasi kualitatif. Evaluasi model studi kasus memusatkan perhatiannya pada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan. Unit tersebut dapat berupa satu sekolah, satu kelas, bahkan terdapat seorang guru atau kepala sekolah. Adapun datanya juga akan berupa data kualitatif yang dianggap lebih memberikan makna dibanding data kuantitatif yang kering. Namun demikian kualitatif tidak menolak secara mutlak data kuantitatif.
2. Model Iluminatif
Model ini mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social. Model ini juga memberikan perhatian tidak hanya pada kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Adapun dua dasar konsep yang digunakan model ini adalah:
1. Sistem intruksi
Sistem intruksional disini diartikan sebagai catalog, perpekstus, dan laporan-laporan kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran. KTSP sebagai hasil pengembangan standar isi dan standar kompetensi lulusan di suatu satuan pendidikan adalah suatu system instruksi.
2. Lingkungan belajar
Lingkungan belajar ialah lingkungan social-psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik berinteraksi. Dalam langkah pelaksanaannya, model evaluasi iluminatif memiliki tiga kegiatan. Yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan yang penting. Dalam observasi evaluator dapat mengamati langsung apa yang sedang terjadi disuatu satuan pendidikan. Evaluator dapat melakukan studi dokumen, wawancara, penyebaran kuesioner, dan melakukan tes untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan. Isu pokok, kecenderungan, serta persoalan yang teridentifikasi merupakan pedoman bagi evaluator untuk masuk kedalam langkah berikutnya.
b. Inquiri lanjutan
Tahap inkuiri lanjutan ini evaluator tidak berpegang teguh terhadap temuannya dalam langkah pertama. Kegiatan evaluator dalam tahap ini adalah memantapkan isu, kecenderungan, serta persoalan-persoalan yang ada sampai suatu titik dimana evaluator menarik kesimpulan bahwa tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
c. Penjelasan
Dalam langkah memberikan penjelasan ini evaluator harus dapat menemukan prinsip-prinsip umum yang mendasari kurikulum disatuan pendidikan tersebut. sDisamping itu evaluator harus dapat menemukan pola hubungan sebab akibat untuk menjelasakan mengapa suatu kegiatan dapat dikatakan berhasil dan mengapa kegiatan lainnya dikatakan gagal. Penjelasan merupakan hal penting dalam metode iluminatif.
3.1. Kesimpulan
1.Evaluasi kurikulum memegang perenan penting baik dalam penetuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum.Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebjaksanaan pendidikan dan para pemegang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebjaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembanagan model kurikulum Yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian dan fasilitas pendidikan lainnya.
2. Model-model evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di Amerika, Inggris dan Australia dibedakan menjadi:
a. Model kuantitatif. meliputi model Black Box Tyler, Model Teoritik Taylor dan Maguire, Model Pendekatan Sistem Alkin, Model Countenance Stake.
b. Model Ekonomi.
c. Model Kualitatif. meliputi model studi kasus dan model iluminatif.
2. Maslah teknis dan logis : kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk kelompok–kelompok yang diuji.
3. Sukar untuk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok control, pengaruh guru-guru tersebut sukar dikontrol.
4. Ada keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan.
2. Evaluasi Model Objektif
Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serikat. Perbedaan model objektif dengan model komparatif ada dalam dua hal :
a. Dalam model objektif evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum. b. Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus).
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif, yaitu:
1. Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum.
2. Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa.
3. Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut.
4. Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan.
Pendekatan ini yang digunakan oleh Ralph Tylor (1930) dalam menyusun tes dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula pendekatan sistem (system approach)Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom dengan kawan-kawannya menyusun klasifikasi sistem tujuan yang meliputi daerah-daerah belajar (cognitif domain).
Mereka membagi proses mental yang berhubungan dengan belajar tersebut dalam enam kategori, yaitu :
1. Knowledge (pengetahuan) adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi,dan prinsip dasar.
2. Comprehension (pemahaman) memahami hubungan yang sederhana di antara fakta-fakta atau konsep. Pembahasan pemahaman ini adalah penerjemahan, penafsiran, dan eksprorasi.
3. Aplication (penggunaan) memiliki kemampuan untuk menyeleksi atau memilih suatu abstrasi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan, cara) secara tepat untuk diterapkan dalam suatu situasi baru dan menerapkannya secara benar.
4. Analysis (analisis) mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit.
5. Synthesis menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan.
6. Evaluation kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan kurikulum dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan sistem intruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually Prescribed Instruct‑on). Suatu program yang dikembangkan oleh Learning Research And Develovment Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak mengikuti kurikulum yang memiliki 7 unsur :
1. Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah, tingkat-tingkat dan unit-unit.
2. Suatu prosedur program testing.
3. Pedoman prosedur penulisan.
4. Materi dan alat pengajaran.
5. Kegiatan guru dalam kelas.
6. Kegiatan murid dalam kelas.
7. Prosedur pengelolaan kelas.
3. Evaluasi Model Campuran Multivariasi
Evaluasi model perbandingan dan model Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Seperti halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari Tylor dan Bloom, metode tersebut masuk kebidang kurikulum dari proyek evaluasi. Metode-metode tersebut masuk ke bidang kurikulum setelah computer dan program paket berkembang yaitu tahun 1960.
Langkah-langkah model multivariasi adalah sebagai berikut:
1. Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/diteliti.
2. Melaksanakan program.
3. Sementara tim penyusun, menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajara
4. Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan computer.
5. Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh dari beberapa variabel yang berbeda.
Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam model campuran multivariasi, yaitu:
1. Diharapkan memberikan tes statistik yang signifikan.
2. Terlalu banyaknya variabel yang perlu dihitung.
3. Model multivariasi telah mengurangi masalah control berkenaan dengan eksperimen lap angan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah pembandingan.
4. Model EPIC ( Evaluation Program for Innovative Curriculums)
Model EPIC menggambarkan keseluruhan program evaluasi dalam sebuah kubus. Kubus tersebut mempunyai tiga bidang, yaitu:
a. Behavior (perlakuan) yang menjadi sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective dan psychomotor.
b. Instruction (pengajaran) yang meliputi organization, content, method, facilitiesand cost.
c. Kelembagaan yang meliputi student, teacher, administrator, educational specialist, family and community
5. Model CIPP (Context, Input, Process, dan Product)
Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu :
1. Context : yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan.
2. Input : bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan.
3. Process : pelaksanaan nyata dari program pendidikan.
4. Product : keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan.
6. Model C – I – P – O – I
Model pendekatan ini diadopsi dari CIPP-nya Daniel L. Stufflebeam (1971) yang menyatakan bahwa evaluasi dapat membantu proses pengambilan keputusan dalam pengembangan program. Model pendekatan ini terdiri dari :
a. Context Evaluation (C) evaluasi untuk menganalisa problem dan kebutuhan dalam suatu sistem. Kegiatan evaluasi dimaksudkan untuk dilakukan dengan tidak melepaskan diri dari konteks yang membentuk sistem itu sendiri dalam upaya pencapaian tujuan program.
b. Inputs Evaluation (I) mengevaluasi strategi dan sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan program. Hasil input evaluation dapat membantu pengambil keputusan untuk memilih strategi dan sumber terbaik dalam keterbatasan tertentu untuk mencapai tujuan program.
c. Process Evaluation (P) evaluasi dilakukan dengan maksud memonitor proses pelaksanaan program.
d. Outputs Evaluation (O) evaluasi dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh hasil yang diperoleh oleh program yang telah dikembangkan. Tentu saja, hasilnya dapat digunakan untuk mengambil keputusan apakah program diteruskan, diberhentikan atau secara total diubah.
e. Impacts Evaluation (I) evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana program yang telah dikembangkan memberikan dampak yang positif dalam jangka waktu yang lebih panjang.
7. Model 3 P (Program – Proses – Produk)
Model pendekatan ini merupakan model yang diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Raka Joni (1981), esensi dari pendekatan evaluasi model ini, adalah sebagai berikut :
a. Evaluasi Program : yakni merupakan evaluasi yang lebih memfokuskan diri pada evaluasi perencanaan program, dengan demikian evaluasi dilakukan sebelum program dilaksanakan untuk menetapkan rasional kelompok sasaran (targetted groups) serta mengidentifikasi kebutuhan (needs assessment) dan potensi yang ada padanya di samping mengkaji dibelakang meja kesesuaian, perangkat kegiatan program dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan untuk dicapai. Dengan demikian maka evaluasi perencanaan program merupakan bagian integral dari pada pengembangan program.
b. Evaluasi Proses yaitu evaluasi yang cenderung mengarah pada bentuk monitoring yang dilakukan pada saat kegiatan-kegiatan program berlangsung. Model evaluasi ini sangat penting untuk pengembangan program sebab tidak dengan sendirinya pelaksanaan kegiatan-kegiatan program sesuai dengan tujuan serta niat yang semula ditetapkan. Dalam bahasa analisis sistem, evaluasi ini dinamakan evaluasi proses.
c. Evaluasi Produk merupakan evaluasi terhadap aspek hasil yang ditujukan kepada pencapai an tujuan program baik jangka pendek (hasil antara), maupun jangka panjang (hasil akhir). Maka, yang hendak dinilai adanya kesesuaian antara tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan hasil-hasil yang diperoleh. Di samping itu hasil-hasil sampingan baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki, dapat dideteksi melalui evaluasi ini.
Menurut Astuti (2012) model‑model evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di Amerika, Inggris dan Australia dibedakan menjadi:
a. Model kuantitatif, meliputi model black box tyler, model teoritik taylor dan maguire, model pendekatan sistem alkin, model countenance stake.
b. Model ekonomi.
c. Model kualitatif, meliputi model studi kasus dan model iluminatif.
1. Model Evaluasi Kuantitatif
Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan kriteria evaluasi. Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki focus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan kriteria pokok bagi model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut.
A. Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.
Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.
2. Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum.
3. Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya.
v Kelemahan dari model Tyler
Kelemahan dari model Tyler adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum.
v Kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.
B. Model Teoritik Taylor dan Maguire
Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan pada pertimbangan teoritik. Model ini melibatkan variabel dan langkah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal, yaitu:
1. Mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode, konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator.
2. Pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar.
Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai berikut:
a. Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan. Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.
b. Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains atau losses dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.
c. Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan tugas utama sekolah. kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
d. Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas evaluator disini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.
v Kelebihan dari model ini adalah memberikan kesempatan pada evaluator untuk menerapkan kajian secara komprenhensip. Baik nilai maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan model ini. Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa model ini hanya diterapkan di tingkat satuan pendidikan. Sehingga keseluruhan proses pengembangan kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan model ini.
C. Model Pendekatan Sistem Alkin
Model Alkin ini sedikit unik karena selalu memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Adapun pendekatan yang digunakan disebut Alkin dengan pendekatan Sistem. Dua hal yang harus diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control variabel. Alkin membagi model ini atas tiga komponen. Yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara (mediating), dan keluaran (hasil). Alkin juga mengenal sisitem internal yang merupakan interaksi antar komponen yang langsung berhubungan dengan pendidikan dan system eksternal yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan. Model Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan. Adapun keempat asumsi itu yaitu:
1. Variabel perantara adalah satu-satunya variabl yang dapat dimanipulasi.
2. Sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran sistem (persekolahan).
3. Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki control mengenai pengaruh yang diberikan system luar terhadap sekolah.
4. Faktor masukan mempengaruhi aktifitas faktor perantara dan pada gilirannya faktor perantara berpegaruh terhadap faktor keluaran.
v Kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan sistem. Dengan model pendekatan sistem ini kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variabl-variabl yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya.
v Kelemahan dari model Alkin adalah keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah.
D. Model Countenance Stake
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks pertimbangan.
1. Matrik Deskripsi
Matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
2. Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan fokus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif.
2. Model Ekonomi Mikro
Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini focus pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan). Model dilingkungan ekonomi mikro ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum adalah model cost effectiveness. Dalam model cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur hasil di gunakan instrument yang sudah di standarisasi. Pengunaan instrument standar penting karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil dapat dilakukan secara berimbang.
3. Model Evaluasi Kualitatif
Model evaluasi kualitatif selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai fokus utama evaluasi. Oleh karena itulah dimensi kegiatan dan proses lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi lain. Terdapat tiga model evaluasi kualitatif, yaitu sebagai berikut:
a. Model Studi Kasus
Model studi kasus (case study) adalah model utama dalam evaluasi kualitatif. Evaluasi model studi kasus memusatkan perhatiannya pada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan. Unit tersebut dapat berupa satu sekolah, satu kelas, bahkan terdapat seorang guru atau kepala sekolah. Adapun datanya juga akan berupa data kualitatif yang dianggap lebih memberikan makna dibanding data kuantitatif yang kering. Namun demikian kualitatif tidak menolak secara mutlak data kuantitatif.
2. Model Iluminatif
Model ini mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social. Model ini juga memberikan perhatian tidak hanya pada kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Adapun dua dasar konsep yang digunakan model ini adalah:
1. Sistem intruksi
Sistem intruksional disini diartikan sebagai catalog, perpekstus, dan laporan-laporan kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran. KTSP sebagai hasil pengembangan standar isi dan standar kompetensi lulusan di suatu satuan pendidikan adalah suatu system instruksi.
2. Lingkungan belajar
Lingkungan belajar ialah lingkungan social-psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik berinteraksi. Dalam langkah pelaksanaannya, model evaluasi iluminatif memiliki tiga kegiatan. Yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan yang penting. Dalam observasi evaluator dapat mengamati langsung apa yang sedang terjadi disuatu satuan pendidikan. Evaluator dapat melakukan studi dokumen, wawancara, penyebaran kuesioner, dan melakukan tes untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan. Isu pokok, kecenderungan, serta persoalan yang teridentifikasi merupakan pedoman bagi evaluator untuk masuk kedalam langkah berikutnya.
b. Inquiri lanjutan
Tahap inkuiri lanjutan ini evaluator tidak berpegang teguh terhadap temuannya dalam langkah pertama. Kegiatan evaluator dalam tahap ini adalah memantapkan isu, kecenderungan, serta persoalan-persoalan yang ada sampai suatu titik dimana evaluator menarik kesimpulan bahwa tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
c. Penjelasan
Dalam langkah memberikan penjelasan ini evaluator harus dapat menemukan prinsip-prinsip umum yang mendasari kurikulum disatuan pendidikan tersebut. sDisamping itu evaluator harus dapat menemukan pola hubungan sebab akibat untuk menjelasakan mengapa suatu kegiatan dapat dikatakan berhasil dan mengapa kegiatan lainnya dikatakan gagal. Penjelasan merupakan hal penting dalam metode iluminatif.
3.1. Kesimpulan
1.Evaluasi kurikulum memegang perenan penting baik dalam penetuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum.Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebjaksanaan pendidikan dan para pemegang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebjaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembanagan model kurikulum Yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian dan fasilitas pendidikan lainnya.
2. Model-model evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di Amerika, Inggris dan Australia dibedakan menjadi:
a. Model kuantitatif. meliputi model Black Box Tyler, Model Teoritik Taylor dan Maguire, Model Pendekatan Sistem Alkin, Model Countenance Stake.
b. Model Ekonomi.
c. Model Kualitatif. meliputi model studi kasus dan model iluminatif.
Model
evaluasi kurikulum sebagaimana perkembangan evaluasi kurikulum di Amerika,
Inggris dan Australia adalah dibedakan menjadi 3 yaitu:[5] pertama, model yang
masuk dalam kategori kuantitatif. Kedua, model kualitatif dan ketiga model-model
ekonomi. Adapun penjabarannya masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Model Evaluasi
Kuantitatif
Adapun ciri
yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif
untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma
positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan
peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari
model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam
mengembangkan criteria evaluasi.
Berikutnya
model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki focus evaluasi yaitu pada dimensi
kurikulum sebagai hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan
criteria pokok bagi model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model
evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah
sebagai berikut.
a. Model Black Box
Tyler
Model Tyler
dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh
pengembangnya. Tyler menuangkan karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang
kurikulum. Berkat buku inilah kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia
disegani. Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang
ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada
tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada
saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua
prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang
sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.
Adapun
prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1. Menentukan
tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini
adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan
sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus
mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model kurikulum
berbasis kompetensi.
2. Menentukan
situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan
tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan
evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses pembelajaran yang
terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum.
3. Menentukan
alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik.
Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara
dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan
reliabilitasnya.
Inilah tiga
prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun kelemahan dari model Tyler ini
adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan
mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses
belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen
penting dari kurikulum.
Adapun
kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat
memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi
hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.
b. Model
Teoritik Taylor dan Maguire
Model
evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan pada pertimbangan
teoritik. Model ini melibatkan variabel dan langkah yang ada dalam proses
pengembangan kurikulum. Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model
teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal, yaitu: pertama,
mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai
komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode, konten, hasil belajar langsung
maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan data objektif karena
mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator.
Kedua, pengumpulan data yang merupakan
hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan
hasil belajar. Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah
sebagai berikut:
1. Dimulai
dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan. Tekanan dan
tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari
masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai kurikulum. Adapun
dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada
tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan.
Dari dua standar ini maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang
hendak dicapai satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut
menjadi tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.
2. Evaluator
mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan behavioral.
Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan,
kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat abstraksinya.
Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral
tersebut membawa gains atau lossesdibandingkan
dengan tujuan umum ditahap pertama.
3. Penafsiran
tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan pertimbangan
mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua criteria yang
dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi pertimbangan adalah: pertama,
kesesuaian dengan tugas utama sekolah.kedua, tingkat pentingnya tujuan
kurikulum untuk dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan ini
adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan
tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
4. Mengevaluasi
pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas evaluator disini adalah
menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar
yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum
yang baik adalah kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta
didik dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.
Demikianlah
tahapan pelaksanaan model evaluasi Taylor dan Maguaire. Adapun kelebihan dari
model ini adalah memberikan kesempatan pada evaluator untuk menerapkan kajian
secara komprenhensip. Baik nilai maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan
menggunakan model ini. Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa
model ini hanya diterapkan di tingkat satuan pendidikan. Sehingga keseluruhan
proses pengembangan kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan
model ini.
c. Model
Pendekatan Sistem Alkin
Adapun model
Alkin ini sedikit unik karena selalu memasukkan unsure pendekatan ekonomi mikro
dalam pekerjaan evaluasi. Adapun pendekatan yang digunakan disebut Alkin dengan
pendekatan Sistem. Dua hal yang harus diperhatikan oleh evaluator dalam model
ini adalah pengukuran dan control variable. Alkin membagi model ini atas tiga
komponen. Yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara
(mediating), dan keluaran (hasil). Alkin juga mengenal sisitem internal yang
merupakan interaksi antar komponen yang langsung berhubungan dengan pendidikan
dan system eksternal yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan.
Model Alkin
dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat asumsi ini sudah
dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan. Adapun keempat asumsi itu yaitu:
1. Variable
perantara adalah satu-satunya variable yang dapat dimanipulasi.
2. System
luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran system (persekolahan)
3. Para
pengambil keputusan sekolah tidak memiliki control mengenai pengaruh yang
diberikan system luar terhadap sekolah.
4. Factor
masukan mempengaruhi aktifitas factor perantara dan pada gilirannya factor
perantara berpegaruh terhadap factor keluaran.
Adapun
kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan system. Dengan model
pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari
variable-variable yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran.
Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan
karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya,
kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan
sebagainya.
Adapun yang
dimaksud dengan proses disini meliputi factor perantara yang merupakan kelompok
variable yang secara langsung memperngaruhi keluaran. Adapun yang masuk dalam
variable perantara ini diantaranya adalah rasio jumlah guru dengan peserta
didik, jumlah peserta didik dalam kelas, pengaturan administrasi, penyediaan
buku bacaan, prosedur pengajaran dan sebagainya.
Adapun
keluaran peserta didik adalah setiap perubahan yang terjadi pada diri peserta
didik sebagai akibat dari pengalaman belajar yang diperolehnya. Perubahan ini
harus diikuti sejak peserta didik masuk sistem hingga keluar system. Perubahan
harus diukur meliputi setiap aspek perubahan yang mungkin terjadi termasuk
didalamnya kemampuan peserta didik dalam melanjutkan pelajaran ditingkat
pendidikan yang lebih tinggi, pada waktu memasuki lapangan kerja, dalam
melakukan pekerjaan bahkan termasuk aktifitas dalam kehidupna di masyarakat.
Dari uraian
diatas kita temukan kelemahan dari model Alkin adalah keterbatasannya dalam
focus kajian yaitu yang hanya focus pada kegiatan persekolahan. Sehingga model
ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap
dilaksanakan disekolah.
d. Model
Countenance Stake
Model
countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh
Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah
evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan.
Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan
matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.
1. Matrik
Deskripsi
Kategori
pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent)
pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut
adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program
adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi,
yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa
yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus
melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu
satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan
pendidikan.
2. Matrik
Pertimbangan
Dalam matrik
ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan focus antecendent, transaksi,
autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi
oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah
evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari
kategori pertama dan matrik deskriptif.
Adapun dua
hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model countenance adalah
contingency dan congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan
keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri atas
kontigency logis dan contingency empiric. Contingency logis adalah hasil
pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence
dengan traksaksi dan hasil. Kemudian evaluator juga harus memberikan
pertimbangan empiric berdasarkan data lapangan.
Evaluator
juga harus memberikan pertimbangan congr uence atau perbedaan yang terjadi
antara apa yang direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun
kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba
dikaji kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang
direncanakan dengan yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik
sesuai tidak dengan harapan.
e. Model
CIPP
Model ini
dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai
dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi
Context (konteks), Input (masukan), Process (proses), dan Product (hasil).
Adapun tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai
berikut:
Ø Evaluasi
Context
Tujuan
utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta didik,
manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah,
masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kurikulum.
Ø Evaluasi
Input
Evaluasi
ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap keberhasilan
pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor
yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenai ini
menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau
pergantian kurikulum.
Ø Process
Evaluasi
proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi kurikulum.
Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi
kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses implementasi. Evaluator harus
merekam berbagai pengaruh variable input terhadap proses.
Ø Product
Adapun
tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh mana kurikulum
yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang
menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai hasil
belajar, membandingkannya dengan standard dan mengambil keputusan mengenai
status kurikulum (direvisi, diganti atau dilanjutkan).
Dari
uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi yang tidak hanya
dilaksanakan dalam situasi inovasi sedang dilaksanakan, tetapi justru model ini
dilakukan ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.
2. Model
Ekonomi Mikro
Model
ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana
model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini focus pada hasil (hasil
dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan). Adapun pertanyaan
besar dalam ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta
didik adalah sesuai dengan dana yang dikeluarkan? Adapun model dilingkungan
ekonomi mikro ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum
adalah model cost effectiveness.
Dalam model
cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua
program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk
masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program.
Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai
program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan
hasil. Dalam mengukur hasil di gunakan instrument yang sudah di standarisasi.
Pengunaan instrument standar penting karena dengan demikian perbandingan antara
biaya dan hasil dapat dilakukan secara berimbang.
3. Model
Evaluasi Kualitatif
Adapun model
evaluasi kualitatif selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai
focus utama evaluasi. Oleh karena itulah dimensi kegiatan dan proses lebih
mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi lain. Terdapat tiga model evaluasi
kualitatif, yaitu sebagai berikut:
a. Model
Studi Kasus
Adapun model
studi kasus (case study) adalah model utama dalam evaluasi kualitatif. Evaluasi
model studi kasus memusatkan perhatiannya pada kegiatan pengembangan kurikulum
di satu satuan pendidikan. Unit tersebut dapat berupa satu sekolah, satu kelas,
bahkan terdapat seorang guru atau kepala sekolah. Adapun datanya juga akan
berupa data kualitatif yang dianggap lebih memberikan makna dibanding data
kuantitatif yang kering. Namun demikian kualitatif tidak menolak secara mutlak
data kuantitatif.
Dan dalam
menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan
evaluator adalah familirialisasi dirinya terhadap kurikulum yang dikaji.
Apabila evaluator belum familiar dengan kurikulum dan satuan pendidikan yang
mengembangkannya maka evaluator ini dilarang melakukan evaluasi.
Familirialisasi ada dua jenis. Pertama, familiriaslisasi terhadap
kurikulum sebagai ide dan sebagai rencana. Familiarialisasi kedua dilakukan
ketika evaluator dilapangan. Evaluator harus menguasai kebiasaan-kebiasaan
dalam satuan pendidikan yang dievaluasi.
Setelah
familiarilisasi evaluator bisa melanjutkan pada observasi lapangan dengan baik.
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang sangat dianjurkan dalam model
studi kasus. Dengan observasi memungkinkan evaluator menangkap suasana yang
terjadi secara langsung ketika proses yang diobservasi sedang berlangsung.
Adapun ketentuan bagi evaluator ketika menggunakan observasi adalahpertama,
haruslah evaluator seorang yang memiliki visi dan pengetahuan luas mengenai
focus observasi.
Kedua, kecepatan berfikir, hal ini
penting karena evaluator berfungsi sebagai instrument yang selalu terbuka untuk
refocusing ataupun membuka dimensi baru dari masalah yang sedang diamati. Ketiga,
evaluator harus cermat dalam menangkap informasi yang diterimanya. Kecermatan
ini ditandai oleh tiga hal. Pertama, informasi tertulis sebagaimana yang
disampaiakn oleh responden, pemkanaan informasi, dan keterkaitan informasi
dengan konteks yang lebih luas.
Selain
observasi, pengumpulan data dapat dilakukan dengan kuisioner dan wawancara.
Setelah data selesai dikumpulkan maka pengolahan data langsung dilakukan,
sebaiknya ketika masih dilapangan. Hal ini memudahkan evaluator apabila ada
persoalan baru masih memiliki kesempatan untuk menelusuri secara langsung.
Selain itu juga efisiensi waktu. Dari pengolahan data ini dilakukan dengan
tindakan evaluator yaitu mengklasifikasi data dan segera membuat laporan hasil
evaluasi.
b. Model
Iluminatif
Model ini
mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social. Model ini juga
memberikan perhatian tidak hanya pada kelas dimana suatu inovasi kurikulum
dilaksanakan. Adapun dua dasar konsep yang digunakan model ini adalah:
1. System
intruksi
System
intruksional disini diartikan sebagai catalog, perpekstus, dan laporan-laporan
kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan
yang resmi berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran. KTSP sebagai hasil
pengembangan standar isi dan standar kompetensi lulusan di suatu satuan
pendidikan adalah suatu system instruksi.
2. Lingkungan
belajar
Lingkungan
belajar ialah lingkungan social-psikologis dan materi dimana guru dan peserta
didik berinteraksi. Dalam langkah pelaksanaannya, model evaluasi iluminatif
memiliki tiga kegiatan. Yaitu:
a. Observasi
Observasi
adalah kegiatan yang penting. Dalam observasi evaluator dapat mengamati
langsung apa yang sedang terjadi disuatu satuan pendidikan. Evaluator dapat
melakukan studi dokumen, wawancara, penyebaran kuesioner, dan melakukan tes
untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan. Isu pokok, kecenderungan, serta
persoalan yang teridentifikasi merupakan pedoman bagi evaluator untuk masuk
kedalam langkah berikutnya.
b. Inkuiri
lanjutan
Dalam tahap
inkuiri lanjutan ini evaluator tidak berpegang teguh terhadap temuannya dalam
langkah pertama. Kegiatan evaluator dalam tahap ini adalah memantapkan isu,
kecenderungan, serta persoalan-persoalan yang ada sampai suatu titik dimana
evaluator menarik kesimpulan bahwa tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
c. Usahan
penjelasan
Dalam
langkah memberikan penjelasan ini evaluator harus dapat menemukan
prinsip-prinsip umum yang mendasari kurikulum disatuan pendidikan tersebut.
Disamping itu evaluator harus dapat menemukan pola hubungan sebab akibat untuk
menjelasakan mengapa suatu kegiatan dapat dikatakan berhasil dan mengapa
kegiatan lainnya dikatakan gagal. Penjelasan merupakan hal penting dalam metode
iluminatif.
Adapun
evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah merupakan suatu elemen dalam proses
social yang digubungkan dengan perkembangan pendidikan, meliputi tiga model
evaluasi:[6]
1. Evaluasi
model penelitian
Model
evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan atas teori dan
metode tes psikologis serta eksperimen lapangan. Tes psikologi
atau tes psikometrik pada umumnya memiliki dua bentuk, yaitu tes intelegensi
yang ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang
mengukur perilaku skolastik. Eksperimen lapangan dalam pendidikan menggunakan
metode yang biasa digunakan dalam penelitian botani pertanian. Anak dapat
disamakan dengan benih, sedang kurikulum serta berbagai fasilitas serta system
sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya. Untuk mengetahui
tingkat kesuburan benih (anak) serta hasil yang diacapai pada akhir program
percobaan dapat diguanakan tes (pre test dan post tes).
Comparative
approach dalam eksperimen lapangan adalah dengan mengadakan perbandingan antara
dua macam kelompok anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang
berbeda. Missal metode global dan metode unsure. Dari situ diketahui kelompok
mana yang hasilnya baik. Rancangan penelitian ini membutuhkan persiapan yang
sangat teliti dan rinci. Besarnya sampel, variable, hipotesis, tes hasil
belajar dan sebagainya perlu dirumuskan dengan tepat.
Adapun
kesulitan dari eksperimen ini adalah pertama, kesulitan
administrative (sedikit sekolah yang bersedia dijadikan eksperimen). Kedua,
masalah teknis yaitu kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk
kelompok yang diuji. Ketiga, sukar mencampurkan guru untuk mengajar pada
kelompok eksperimen dengan kelompok control.
2. Evaluasi
model Objektif
Evaluasi
model objektif berasal dari Amerika Serikat. Pendekatan ini digunakan oleh
Ralph Tylor. Ada beberapa syarat yang harus di penuhi oleh evaluator model
objektif adalah:
a. Ada
kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum.
b. Merumuskan
tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa
c. Menyusun
materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut
d. Mengukur
kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan
Dalam
evaluasi model objektif ini kemajuan siswa dimonitor oleh guru dengan
memberikan tes yang mengukur tingkat penguasaan tujuan-tujuan khusus melalui
pre tes dan post tes. Siswa dianggap menguasai unit bila memperoleh skor
minimal 80.
3. Model
campuran multivariasi
Model
evaluasi perbandingan dan model objektif menghasilkan evaluasi model campuran
yaitu strategi yang menyatukan unsure-unsur dari kedua pendekatan tersebut.
Adapun langkah-langkah model multivariasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mencari
sekolah yang berminat untuk dievaluasi
b. Pelakasanaan
program.
c. Sementara
tim penyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran, umpanya dengan
metode global dan metode unsure dapat disiapkan tes tambahan.
d. Bila
semua informasi yang diharapkan telah terkumpul maka mulailah pekerjaan
computer
e. Tipe
analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari beberapa
variable yang berbeda.
Adapun
kesulitan yang dihadapi dalam model campuran multivariasi ini adalah:pertama,
diharapkan memberikan tes statistic yang signifikan. Kedua, terlalu
banyaknya variable yang perlu di hitung. Untuk model ini diperlukan variabel
sekitar 300. Ketiga,model multivariasi telah mengurangi masalah
control berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap menghadapi
masalah-masalah perbandingan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Evaluasi
kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi
sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri
sendiri.
2. Model-model
evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di Amerika, Inggris dan
Australia dibedakan menjadi:
a. Model
Kuantitatif. Meliputi model Black Box Tyler, Model Teoritik Taylor dan Maguire,
Model Pendekatan Sistem Alkin, Model Countenance Stake, Model CIPP
b. Model
Ekonomi
c. Model
Kualitatif. Meliputi model studi kasus dan model iluminatif.
Adapun
evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah merupakan suatu elemen dalam proses
social yang digubungkan dengan perkembangan pendidikan, meliputi tiga model
evaluasi, yaitu:
a. Evaluasi
model penelitian
b. Evaluasi
model objektif
c. Evaluasi
model campuran multivariasi
B. Saran
Melihat
pentingnya evaluasi kurikulum maka kami menyarankan kepada evaluator untuk
memahami benar teori-teori evaluasi kurikulum serta teori kurikulum yang sedang
dijalankan oleh satuan pendidikan. Sehingga evaluasi kurikulum tersebut
bermanfaat sebagaimana tujuan dari evaluasi kurikulum itu sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Hamalik,
Oemar, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
Hasan, S.
Hamid, Evaluasi Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
Purwanto, Evaluasi Hasil
Belajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Sudijono, Anas, Pengantar
Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Sukmadinata,
Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2007
[4] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 185
Komentar
Posting Komentar