Budaya yang pudar

Budaya Kebersamaan Orang Aceh Mulai Pudar

Oleh: Cekbe

BEBERAPA JENIS kegiatan yang telah menjadi budaya di Aceh mulai terusik dan pudar. Terjadi hilangnya sikap kebersamaan itu ada beberapa factor, pertama akibat banyaknya kesibukan masing-masing warga. Kemudian mudahnya terpengaruh masyarakat dengan budaya daerah lain yang lebih maju, namun tidak memiliki adat dan tradisinya yang kental yakni mudah jika dikerjakan. Termasuk budaya tadarus di meunasah bulan Ramadhan mulai pudar, karena kurangnya kepedulian orang tua, juga masyarakat lingkungan kurang peduli. Kalau dulu anak-anak tidak dibenarkan berkeliaran pada jam-jam pengajian berlangsung.

Seorang pemerhati adat dan Budaya Aceh, Ibrahim Achmad saat dimintai pendapat terkait dengan memudarnya adat budaya orang Aceh mengatakan, dengan memudarnya adat dan budaya itu juga akibat melonjaknya angka kemiskinan. Kepedulian pemerintah terhadap masyarakat juga sangat kurang dimasalalu, Pejabat masa lalu jarang mendengar pendapat tokoh masyarakat di daerah. Misalnya pendapat para Ulama, tokoh tani gampong, tokoh budaya dan elemen masyarakat yang seharusnya dimintai pendapat setiap penggerakan pembangunan di daerah juga dilibatkan.

Menurut Ibrahim, suatuhal lebih cepat menghilangkan budaya kesatuan adalah dipengaruh dengan uang bantuan yang serba tanggung. Entah memang sengaja dilakukan pemerintah pusat waktu itu, untuk memangkas kebersamaan orang Aceh, entah memang dananya yang terbatas. Contohnya diberikan dana Pembangunan Masyarakat Desa disebut dengan uang PMD yang diserahkan melalui geusyik, kemudian diberikan fasilitas sepeda (kereta angin) kepada pak Geusyik dengan mereknya waktu itu “Norton,” ungkap Ibrahim yang lebih dikenal dengan sebutan “Abu Beurahim”.

Sebelum diberikan dana PMD yang jumlahnya sangat tanggung itu, mulailah budaya kebersamaan bergotong royong pudar. Kalau Pak Geusyik mengajak warganya dengan memukul beduk (Peh Tambo) masyarakat mulai kurang kompak, mereka mengatakan “untuk apa kita capek gotong royong, kan sudah diberikan uang oleh pemerintah”, padahal uang tersebut justru menunjang kegiatan rakyat. Lebih-lebih lagi pengelola tingkat desa kurang tepat sasaran yang membuat warganya dibalut kecurigaan, kata Ibrahim yang sebagai Perintis atau membidani lahirnya Persatuan Wartawan Aceh (PWA).

Sementara sebelumnya, kata Abu Beurahim, kebersamaan bergotong royong tingkat masyarakat gampong sangat tinggi, membangun meunasah, berhasil dengan baik secara gotong royong dan bahan baku bangunan dikutip dari masyarakat tiap panen padi, jagung dan lainnya. Bahkan, ada yang mengutip berass segenggam (Breuh sijumpet) tiap memasak nasi kaum itu mengambil segenggam beras disimpa, tiga hari sekali diambil oleh panitia pembangunan meunasah.

Sementara untuk pembangunan lainnya, misalnya membuka jalan baru hanya mengandalkan tenaga kebersamaan, namun sekarang mulai pudar. Suatuhal yang sangat disayangkan, tambah Abu Beurahim, hilangnya kekompakan antara rakyat dengan pimpinan desa alias Geusyik hanya “gara-gara peng bicah dan geritangen Norton”. Sebelumnya, ada Geusyik memegang jabatan geusyik sampai 25 tahun tak ada keributan. Karena dipilih jadi pimpinan gampong dilihat orangnya, keturunan, gaya hidupnya, pemikirannya. Mampu jadi Imam Shalat, mampu memandikan jenazah, mampu mengaji dan mengajari tentang agama dan punya kharisma atau dihormati betul.

Bukan hanya itu, juga kebersamaan ketika Khenduri di salah satu rumah warga juga mulai pudar juga, dengan kesibukan pribadi masing-masing. Bahkan, banyak warga yang mampu mengambil Catering menu makanan untuk menghidangkan tamu sistem ala prancis. Dengan ala prancis disatu segi memang menghemat bagi pemilik rumah yang mengadakan khenduri perkawinan, atau sunatan anaknya. Padahal, sebelumnya kalau ada khenduri di sebuah rumah diserahkan kepada masyarakat desa untuk melaksanakan. Misalnya seekor lembu lengkap dengan bumbunya, beras dan lainnya untuk diberikan kepada sejumlah tamu yang diundang pemilik rumah. Kerjanya secara kebersamaan sampai tiga hari sebelum hari acara telah mulai melakukan kegiatan persiapan.

Namun, dipihak lain bisa menghilangkan kebersamaan dan budaya orang aceh. Bahkan yang lebih gawat lagi hilangnya martabat dan penghormatan bagi tamu tertentu, misalnya para tokoh agama, Ulama, Dosen, Bupati, Gubernur dan pimpinan atau petinggi Aceh lainnya saat makan harus mengambil piring sendiri. Seharusnya Pemimpin-pemimpin itu kalau bagi orang Aceh masalalu sangat dihormati, kalau diundang khenduri tidak dibiarkan mengambil sendiri harus dihidangkan dengan menu juga dibedakan dengan orang lain, jelas Abu Beurahim.

Memang, diantara desa-desa di beberapa kabupaten/kota masih ada budaya sepeerti itu, tapi mulai memudar tak lagi dilakukan seperti masa lalu secara kerjasama dan sama-sama bekerja dengan kekompakan luar biasa.

Suatuhal yang sangat gembira kita melihat masa lalu adalah, masyarakat menghormati tokohnya. Kalaupun ada sedikit kesalahan atau kesilapan, tidak dipermalukan kalau telah dinobatkan sebagai tokoh. Tidak dicela di depan ramai, tidak dipukul, tidak dihardik dan kalau memang tak diterima lagi sebagai pemimpinnya dimusyawarah lalu diganti tanpa diawali dengan hujatan yang memalukan atau dipermalukan. Sedangkan sekarang adat budaya dan peradaban itu mulai luntur.

Namun, semuanya itu baru bisa kembali kalau pemerintah bertindak tegas dengan membuat Qanun yang dijalankan secara benar. Jangan hanya berlaku kepada masyarakat kecil jika berbuat pelanggaran, tapi siapa saja yang membuat pelanggaran ditindak, walaupun sipelaku anak Ketua DPRD, Bupati, Anak Hakim, TNI/Polri, tokoh dan semua pelanggar dihukum termasuk Wartawan yang melanggar ditindak secara tegas. Kalau hal tersebut deilakukan dengan baik Insya Allah budaya Aceh akan kembali kepada posisinya, meskipun tidak 100 persen, kembali sekitar 75 persen saja Alhamdulillah, kata Abu Beurahim. 

Komentar

Postingan Populer